Bentrok Sengketa Lahan di Toba Samosir, Warga Dipukul Polisi
JAKARTA EDITORPUBLIK.COM, Pembangunan kawasan pariwisata
di wilayah Danau Toba,
Sumatra Utara, diwarnai bentrok antara aparat dengan warga
di Desa Sigapiton, Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba Samosir, Kamis (12/9/2019).
Salah satu pendamping warga dari Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa
Masyarakat (KSPPM) Rocky Pasaribu dipukul oleh aparat kepolisian.
“Aku kena (pukul) ketika berusaha menghentikan eskavator dilanjutkan. Aku
bilang, tolong berdialog dulu, tapi mereka memukul dan menjatuhkan aku,”
kata Rocky melalui sambungan telepon.
Rocky terluka di mata sebelah kiri. Polisi juga berusaha menangkap dan
membawanya ke kantor polisi setempat.
“Mereka memaksa aku ditangkap dan dibawa ke Polres.
Tapi aku dilindungi warga jadi tidak dibawa ke Polres,” ujarnya.
Selain pemukulan oleh aparat kepolisian, Rocky mengatakan sejumlah orang
mengalami pingsan.
Sementara beberapa ibu-ibu terpaksa melepaskan pakaian sebagai bentuk
penolakan. Mereka berhadapan dengan petugas Satpol PP. Namun aksi buka baju itu
tidak mampu menghentikan kegiatan pembangunan.
“Ibu-ibu buka baju sekitar 20 sampai 30 orang, mereka nekat buka baju tapi
dihentikan. Polisi dan Satpol PP menghalangi dan membuka jalan wilayah
adat,” ujarnya.
Kejadian itu bermula ketika Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) mengirim
alat berat ke Desa Sigapiton untuk membangun jalan dari The Nomadic Kaldera
Toba Escape menuju Batu Silali sepanjang 1.900 meter dan lebar 18 meter.
Pembangunan jalan tersebut merupakan bagian dari pengembangan industri
pariwisata di Kawasan Danau Toba.
Bersama dengan alat berat, BPODT mengajak aparat keamanan.
Sekitar seratusan orang dari masyarakat adat Sigapiton bersama KSPPM mengadang
upaya memasukkan alat-alat berat yang akan menggilas tanah dan hutannya.
Bentrokan pun tak terhindarkan. Seorang di barisan warga terkena pukul aparat
di bagian mata kiri. Masyarakat terus bertahan sekalipun di bawah ancaman
kekerasan.
Saat dikonfirmasi terpisah, Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo
belum mengetahui peristiwa tersebut. Pihaknya masih menanyakan kejadian itu
kepada kepolisian setempat.
Minta Pengakuan Tanah Adat
Rocky menjelaskan awal konflik ini karena Pemerintah Kabupaten Toba Samosir
tidak mengakui lahan tersebut merupakan tanah adat warga setempat. Menurutnya,
tanah adat tersebut tidak terdaftar dalam Hutan Kemasyarakatan (HKm).
“Dulu ada program HKm, tapi masyarakat dulu tidak mau daftar HKm karena
berpikir buat apa daftar, kan ini tanah kami. Kami sudah di sini delapan
generasi,” kata Rocky.
Kondisi berbeda di desa tetangga yang terdaftar HKm. Pemerintah Kabupaten bisa
menginventarisasi harga dan ganti rugi yang diberikan untuk pembangunan.
Sementara di desa Sigapiton tidak bisa dilaksanakan ganti rugi. Kendati begitu,
kata Rocky, masyarakat tidak menekankan ganti rugi.
Masyarakat setuju akan pembangunan pariwisata di daerahnya, asalkan pemerintah
mengakui tanah mereka merupakan tanah adat.
“Pada prinsipnya masyarakat tidak menolak rencana pembangunan hotel segala
macam. Tapi terlebih dahulu harus diakui adalah wilayah adat,” ujar dia.
“Jadi bukan masalah ganti rugi. Kalau sudah diakui
masyarakat berjanji mau menandatangani di atas materai. Kan, harus menghargai
hak mereka hak asasi manusia,” lanjut Rocky.
Selain itu, menurut Rocky, warga tidak mengetahui bahwa daerahnya akan dibangun
kawasan pariwisata. Pemerintah Kabupaten Toba Samosir pun tidak pernah
melakukan sosialisasi soal pembangunan.
Mereka baru mengetahui akan diadakan pembangunan setelah kedatangan Menko
Maritim Luhut Binsar Panjaitan ke tanah mereka pada akhir pekan lalu.
“Pemkab ini belum ada pemberitahuan dari Badan Pembangunan Otoritas Danau
Toba. Itu yang kami sesalkan tidak ada pernah keterbukaan. Pembukaan jalan ini
masyarakat baru tahu hari Sabtu waktu Menteri Luhut datang ke Balige,”
ujarnya. (CNNIndonesia.com)