BERITA UTAMAHUKUM

Menyelamatkan Dana Desa dari Jerat Korupsi dan Intervensi Aparat

TAJUK BERITA

DANA DESA sejatinya merupakan instrumen penting dalam membangun kemandirian dan kesejahteraan masyarakat desa. Namun dalam praktiknya, dana yang bernilai triliunan rupiah ini kerap menjadi ajang “bancakan” oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab, baik dari internal desa maupun pihak luar yang memiliki kuasa dan pengaruh. Yang lebih memprihatinkan, indikasi keterlibatan aparat penegak hukum (APH) turut mencoreng wajah penegakan hukum itu sendiri.

Pola penyimpangan dana desa terjadi secara sistematis. Dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pelaporan kegiatan, jalur manipulasi telah disiapkan. Modusnya beragam: markup harga, pengadaan barang fiktif, penyaluran barang kualitas rendah, hingga skema setoran atau bagi-bagi fee.

Ironisnya, kepala desa justru menjadi pihak yang paling sering dikorbankan. Mereka ditekan, diancam, atau dibujuk untuk menyetujui pembelanjaan ke toko-toko tertentu, yang tak jarang merupakan milik atau titipan dari oknum APH itu sendiri.

Dalam banyak kasus, tekanan tersebut datang dalam bentuk intimidasi halus hingga ancaman terbuka: jika tak menurut, sang kepala desa bisa dilaporkan atau diperiksa atas dugaan penyimpangan. Sementara itu, aktor-aktor besar di balik praktik ini tetap bebas berkeliaran, bahkan makin leluasa mengatur arah proyek dan keuntungan yang mengalir.

Situasi ini menimbulkan dua dampak serius: Pertama, pembangunan desa menjadi mandek dan tidak optimal, karena alokasi dana tidak sesuai kebutuhan riil masyarakat.

Kedua, kepercayaan publik terhadap institusi negara, baik pemerintahan desa maupun lembaga penegak hukum, mengalami erosi yang dalam. Warga desa, yang mestinya menjadi penerima manfaat utama, justru menjadi korban dari praktik korup dan penyalahgunaan kekuasaan.

Pemerintah pusat dan lembaga pengawas harus bertindak tegas. Reformasi tata kelola dana desa harus dilanjutkan, termasuk dengan memperkuat partisipasi warga dalam pengawasan, memperjelas alur pertanggungjawaban, serta menciptakan sistem pelaporan yang transparan dan mudah diakses. Aparat pengawas internal dan eksternal, termasuk inspektorat dan KPK, harus memastikan bahwa proses pengelolaan dana desa berjalan sesuai aturan, tanpa intervensi dari pihak mana pun.

Lebih penting lagi, institusi kepolisian dan kejaksaan perlu membersihkan diri dari oknum yang memperjualbelikan kekuasaan dan menodai kepercayaan publik. Jangan biarkan hukum menjadi alat pemerasan terhadap pejabat desa yang ingin bekerja dengan jujur. Jika tidak, maka dana desa, yang seharusnya menjadi harapan, justru akan berubah menjadi kutukan yang memiskinkan rakyat dan menciptakan ketakutan di tingkat akar rumput.

Sudah saatnya negara hadir secara utuh di desa, bukan untuk mengontrol, melainkan untuk melindungi. Demi masa depan desa yang adil dan berdaulat.(***)