Polemik Pembabatan Hutan APL, Legalitas SKPT dan Implikasinya
JAKARTA EditorPublik.com – Polemik terkait pengelolaan tanah melalui Surat Keterangan Penguasaan Tanah (SKPT) terus menjadi perhatian publik. Sebagian pihak menganggap SKPT dapat dijadikan dasar untuk berbagai aktivitas, seperti penebangan kayu, kerjasama, dan pemberian kuasa. Namun, para ahli hukum menegaskan bahwa SKPT bukan merupakan bukti hak milik.
Hal ini mengemuka dalam diskusi panel yang digelar secara daring, dengan tema “Aksi Melestarikan Hutan Papatar” yang dilaksanakan pada Jumat (18/4), diikuti oleh aktivis lingkungan, praktisi hukum, tokoh masyarakat, serta Praeses HKBP Distrik III Humbang, Pdt. Robinsarhot Lumban Gaol, S.Th., M.M. Diskusi tersebut menyoroti peran SKPT dalam pendaftaran tanah dan potensi konflik yang timbul akibat perbedaan pemahaman tentang legalitasnya.
SKPT Bukan Bukti Hak Milik
Praktisi hukum agraria, Harry Fransiskus Hasugian, S.H., M.H., menegaskan bahwa SKPT hanya menjadi salah satu syarat pendaftaran tanah pertama kali, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
“SKPT berbeda dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang memiliki kekuatan hukum penuh. SKPT memerlukan bukti penguasaan tanah yang sah, seperti penggunaan secara terus-menerus dengan itikad baik selama minimal 20 tahun,” ujar Harry.
Dalam diskusi, juga disoroti sejumlah kasus penerbitan SKPT yang diduga tanpa dasar yang kuat, bahkan melibatkan pemalsuan dokumen. Praktik semacam ini berpotensi merugikan masyarakat dan melanggar hukum.
Tanah Adat dan Ulayat
Tanah adat dan ulayat diakui secara hukum di Indonesia melalui Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan UU Kehutanan. Namun, klaim terhadap tanah adat harus memenuhi syarat, seperti keberadaan masyarakat adat dengan pranata hukum adat dan wilayah hukum yang jelas.
“Tanah adat tidak bisa serta-merta diubah menjadi hak milik individu tanpa melalui proses hukum yang sesuai. Persoalan ini sering kali memicu konflik antara masyarakat adat dan pihak yang berupaya menguasai tanah tersebut,” tambah Harry.
Menurutnya, Areal Penggunaan Lain (APL) adalah kawasan yang diubah statusnya dari hutan menjadi non-hutan untuk keperluan seperti pembangunan infrastruktur atau perkebunan. Perubahan status ini memerlukan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Penegakan Hukum yang Mendesak
Kendati berada di kawasan APL, aktivitas seperti penebangan kayu tetap memerlukan izin resmi. Tanpa izin tersebut, aktivitas di kawasan APL dianggap ilegal. Harry menekankan bahwa segala aktivitas berbasis SKPT tanpa memenuhi ketentuan hukum dapat melanggar undang-undang, terutama di tanah adat, tanah ulayat, atau APL yang belum mendapatkan penetapan resmi.
“Penegakan hukum menjadi hal yang mendesak untuk memastikan keadilan dan melindungi sumber daya alam,” tegasnya.
Diskusi ini memberikan pandangan penting tentang pentingnya pemahaman yang benar mengenai SKPT, agar tidak menjadi celah bagi pelanggaran hukum atau konflik di lapangan.(Msk)