Era Dungu
Hal ini terinspirasi ketika menyimak beberapa perguruan tinggi kesohor di negeri ini, bukannya membela penguasa yang jujur, kerja keras, dan berorientasi kualitas, malah menjadi corong oposisi. Sikap perguruan tinggi seperti itulah “Era Dungu”.
Tidak sengaja Rocky Gerung mengucapkan kata Dungu. Salahnya disematkan kepada presiden.
Era dungu pada beberapa perguruan tinggi, semestinya kesohor karena kualitas ilmu pengetahuan dan teknologinya, bukan malah kesohor karena penistaan pada prestasi.
Dengan fakta yang ada sekarang, dimana perguruan tinggi kesohor berada pada era dungu, untuk kali kedua negara hanyut pada dua dosa yang dalam.
Dosa pertama:
Semenjak hari kemerdekaan, pemerintah tidak pernah membenahi negeri ini supaya memiliki lembaga pendidikan yang bermutu. Minimal negara tetap mengayomi lembaga pendidikan agar tetap bermutu.
Kebebasan orang berbicara, menjadi simpul jalan keluar setiap kebijakan negara dalam hal mengatur arah dan mutu pendidikan. Sehingga tidak pernah tercipta komunitas guru berwibawa.
Kalau negara ini mau maju, seorang Sudirman tidaklah akan dianugerahi jenderal bintang besar, kalau dilihat dari latar belakang pendidikannya sebagai guru.
Tapi, karena negeri ini dilanda kekalutan atas kekuasaan , maka disematkan Jenderal Besar Sudirman. Bukannya pendidik paling besar jasanya mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Pola pikir di atas tidak luput dari cengkraman kaum yang haus kekuasaan seperti yang diperjuangkan kaum Khilafah, atau Kaum Kadrun.
Dosa kedua:
Mengapa negeri ini kecolongan atas pengaruh kadrun atau kaum kilafah di beberapa perguruan tinggi?.
Mengapa pemerintah alpha memantau jejak kaum kadrun atau kilafah, sehingga bisa menyusup ke berbagai lembaga, termasuk lembaga pendidikan?
Akibat dosa pertama, dan dosa kedua itu, maka muncul Era Dungu di perguruan tinggi yang mestinya kesohor akan kulaitas ilmu pengetahuan dan teknologi. Malah kesohor menjadi oposisi terhadap pemerintahan yang dicintai rakyatnya tanpa tekanan.
Jika penguasa menindas rakyat, jika penguasa menjalankan oligarki, memelihara budaya korupsi, kolusi dan nepotisme, disinilah saatnya perguruan tinggi menjadi pusat perlawanan bagi pemerintah yang sah.
Orde baru tumbang adalah akibat kekuatan perguruan tinggi mempengaruhi mahasiswanya agar bergerak menentang kediktatoran yang diperagakan Suharto selama 32 tahun.
Kalau analisa berpikir rakyat kebanyakan, orde baru tidak mungkin tumbang, sebab didukung dwi fungsi ABRI yang absolut, berlatar secara politik. Ada kebebasan membantai semua yang dianggap PKI sampai keakar akarnya.
Dalam kurun 32 tahun, Suharto berkuasa. Setiap yang tidak setia pada kekuasaan, maka diisukan tidak bersih lingkungan, yang berarti pada saat itu bebas untuk dihancurkan. Sehingga tidak ada oposisi yang bisa diterima oleh rakyat. Oposisi adalah haram, Golkar bukan partai, yang bernama partai seolah olah oposisi.
Maka layak jika perguruan tinggi secara diam diam menjadi pusat perlawanan. Kampus menjadi benar jika keadaan seperti itu. Tapi menjadi dungu saat menjadi oposisi pada pemerintah yang berusaha menjalankan kaidah pendidikan yang benar.
Pendidikan yang benar dan beradab, adalah jika melaksanakan kejujuran, efisiensi, mengelola prestasi sebagai patron hirarki birokrasi. Sepanjang masa akan selalu ada kudeta dalam kehidupan berbangsa jika rakyatnya tidak dididik oleh guru berwibawa.
Hanya guru berwibawa yang mengabadikan kejujuran dalam bertindak, berkata, dan berperilaku. Semua guru berwibawa akan terpola dalam berpikir, bertindak, dan berkarya, sesuai kuasa Illahi yang dipanggil Rabby.
Pemirsa yang budiman, bila perguruan tinggi sudah berada pada Era Dungu, rakyat harus merapatkan barisan untuk menghalau segala kemungkinan yang terjadi, yang bermuara pada kehancuran peradaban masyarakat.
[Penulis: Opsater Marbun]