NUSANTARAOPINI

Hukum Kekuasaan vs Kekuasaan Hukum

Horas HUMBAHAS,

Detik-detik tindakan penyiraman air yang dilakukan oleh anggota DPRD Humbang Hasundutan Sdr. Bantu Tambunan terhadap Ketua DPRD Humbang Hasundutan (Humbahas) Sdr. Ramses Lumban Gaol yang merupakan kader partai PDI Perjuangan, yang terjadi pada tanggal 20 September 2021 di Ruang Rapat DPRD Humbahas di Dolok Sanggul, yang terekam lewat video telah tersebar luas dan viral di media sosial (medsos) maupun dalam media online di seluruh Indonesia, yang tentunya sangat mengecewakan masyarakat Humbahas.

Lalu publik bertanya-tanya, apa latar belakang dan alasan hukum Sdr. Bantu Tambunan (yang merupakan kader Partai Golkar) hingga melakukan indakan penyiraman air terhadap Ketua DPRD Sdr. Ramses tersebut? Sebab ada ungkapan yang menyatakan “tidak ada asap, kalau tidak ada api”.

Jika kita cermati bersama, latar belakang dan alasan hukum Sdr. Bantu Tambunan hingga melakukan tindakan penyiraman air terhadap Sdr. Ramses Lumban Gaol, adalah dilatar belakangi karena Sdr. Ramses Lumban Gaol sebagai Ketua DPRD Humbang Hasundutan dalam melaksanakan fungsi dan kedudukannya selaku Ketua DPRD Humbang Hasundutan, cenderung mengedepankan HUKUM KEKUASAAN.

Sdr. Ramses Lumban Gaol sama sekali tidak menghormati dan menghargai rekan-rekannya Legislator DPRD Humbang Hasundutan, dan hal ini tentu mengakibatkan respon negatif dari para anggota DPRD tersebut yang berujung pengambilan sikap oleh sebagian anggota DPRD tersebut (sekitar 15 orang) dengan menyampaikan MOSI TIDAK PERCAYA terhadap Sdr. Ramses Lumban Gaol yang dengan sendirinya mengakibatkan DPRD Humbahas tidak dapat lagi melaksanakan fungsinya secara maksimal.

Baca Juga :  Syarat Sudah Terpenuhi, Pj Wali Kota Bekasi Groundbreaking Pembangunan Gereja Kristen Pasundan Jemaat Seroja

Selanjutnya, apa alasan hukum Sdr. Bantu Tambunan melakukan penyiraman air tersebut?

Secara hukum, Sdr. Bantu Tambunan adalah perwakilan yang sah dari sebagian masyarakat Humbahas di DPRD Humbahas dan secara sah duduk selaku anggota DPRD Humbahas sesuai dengan UU MD3, bertugas untuk menyampaikan aspirasi konstituennya kepada Pemerintah (Eksekutif) ic. Pemkab Humbahas dan juga berkewajiban menjalankan penugasan partainya dalam hal ini Partai Golkar. Oleh karena itu sangat perlu untuk menganalisa tindakan Sdr. Bantu Tambunan dalam melaksanakan tugas dan fungsi jabatannya selaku DPRD Humbahas, apakah mengedepankan KEKUASAAN HUKUM?

Berdasarkan pendekatan hukum pidana, Tindakan Sdr. Bantu Tambunan dapat dikategorikan sebagai overmact (daya paksa), tentu tindakan penyiraman air tersebut terdorong karena luapan kemarahan (emosi), karena Sdr. Ramses Lumban Gaol tidak mendengar aspirasi/pendapat yang disampaikan dalam rapat Badan Anggaran DPRD Humbahas, pada hari Senin, 20 September 2021 di ruang rapat DPRD Humbahas.

Konsep overmacht atau yang sering disebut sebagai daya paksa merupakan konsep yang sudah umum dalam hukum pidana Indonesia. Hal ini tampak pada Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sudah mencantumkan hal tersebut di dalamnya Pasal 48 KUHP yang selengkapnya berbunyi:

“Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.”

Dalam Pasal 48 KUHP tersebut diatur mengenai daya paksa yang merujuk pada konsep daya paksa dalam Hukum Pidana. Memorie van Toelichting, menyatakan bahwa daya paksa merupakan suatu kekuatan, dorongan, ataupun paksaan yang tidak dapat ditahan atau dilawan.

Jika melihat pada rumusan dari Pasal 48 KUHP tersebut, maka dapat dipahami bahwa daya paksa menjadi salah satu alasan dalam hal penghapusan pidana. Akan tetapi, tidak serta-merta daya paksa dapat menjadi alasan penghapus pidana. Hal ini dikarenakan terdapat batasan-batasan yang sekiranya harus dipenuhi agar suatu daya paksa dapat dianggap sebagai alasan penghapus pidana. Adapun daya paksa yang dapat diterima sebagai alasan penghapus pidana adalah daya paksa yang berasal dari kekuatan yang lebih besar, yaitu kekuasaan yang pada umumnya tidak dapat dilawan. Berkaitan dengan kekuatan yang lebih besar tersebut, maka daya paksa dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu:

Baca Juga :  3 Tersangka Pemalsu Surat Tenaga Honorer K2 Diserahkan ke Kejaksaan Negeri Humbahas

1. Paksaan Mutlak

Pada keadaan ini, pelaku tindak pidana tidak dapat berbuat hal lain selain tindakan yang dipaksakan kepadanya. Artinya, pelaku tindak pidana tersebut melakukan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Menurut Andi Hamzah, daya paksa mutlak atau yang bisa disebut juga sebagai vis absoluta bukanlah daya paksa sesungguhnya. Hal ini tentu masuk akal karena dengan adanya paksaan mutlak, sesungguhnya orang tersebut tidak melakukan tindak pidana. Oleh karena itu, jika dalam suatu tindak pidana terdapat unsur paksaan mutlak, maka Pasal 48 KUHP ini tidak perlu diterapkan. Contohnya adalah orang yang melakukan tindak pidana, tetapi ia sebagai “alat”.

2. Paksaan Relatif

Dalam paksaan yang sifatnya relatif, dapat dipahami bahwa seseorang mendapat pengaruh yang tidak mutlak, akan tetapi meskipun orang tersebut dapat melakukan tindakan lain, ia tidak bisa diharapkan untuk melakukan tindakan lain dalam menghadapi keadaan serupa. Artinya, orang tersebut masih memiliki kesempatan untuk memilih tindakan apa yang akan dilakukannya meskipun pilihannya cukup banyak dipengaruhi oleh pemaksa. Oleh karena itu, tampak adanya perbedaan dengan paksaan mutlak. Pada paksaan mutlak, segala sesuatunya dilakukan oleh orang yang memaksa, sedangkan pada paksaan relatif, perbuatan masih dilakukan oleh orang yang dipaksa berdasarkan pilihan yang ia buat.

Baca Juga :  Perkuat Kebudayaan Inklusif, Kemendikbud Gelar Pekan Kebudayaan Nasional

3. Keadaan Darurat

Keadaan darurat seringkali disebut juga sebagai Noodtoestand. Keadaan darurat berkembang berdasarkan putusan Hoge Raad (Mahkamah Agung Kerajaan Belanda) pada tanggal 15 Oktober 1923 yang dinamakan sebagai opticien arrest. Berdasarkan putusan tersebut, Hoge Raad membagi keadaan darurat menjadi 3 (tiga) kemungkinan, yaitu adanya benturan antara 2 (dua) kepentingan hukum, benturan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum, serta benturan antara 2 (dua) kewajiban hukum. Pada dasarnya, jika berbicara mengenai keadaan darurat, maka dapat dipahami bahwa dalam keadaan darurat, suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang terjadi atas pilihan yang ia buat sendiri.

Berdasarkan uraian hukum tersebut di atas, maka Tindakan Sdr. Bantu Tambunan yang melakukan penyiraman terhadap Ketua DPRD Humbang Hasundutan Sdr. Ramses Lumban Gaol, apakah dapat dikategorikan sebagai daya paksa?

Mari kita cari jawaban atas pertanyaan tersebut kepada pihak yang berwenang melakukannyan dan semoga kita semua mengedepankan KEKUASAAN HUKUM dan bukan HUKUM KEKUASAAN.

Salam Demokrasi, Salam Perdamaian.

#Dikutip dari berbagai sumber.

Exsaudi R. Simanullang, SH., (Advokat, Kurator, Pengurus dan Konsultan Hukum), Anggota Tim Hukum FPDHH

Bagikan :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *