Obituari Pdt Dr SAE Nababan, Penggagas Teologi Keseimbangan
Gereja-gereja di Indonesia dan dunia berkabung. Pdt Dr SAE Nababan, tokoh gereja yang sangat berpengaruh telah meninggalkan kita semua. Beliau meninggal dunia di Rumah Sakit Medistra Jakarta, Sabtu (8/5/2021) sekitar pukul 16.18WIB setelah dirawat beberapa hari akibat gangguan pernafasan.
Saya pribadi telah menulis puluhan obituari, tulisan mengenang seorang yang telah meninggal. Obituari kepada orang yang kita kenal. Kali ini obituari untuk Emeritus Ephorus Pendeta Dr Soritua Albert Ernest, yang dikenal dengan panggilan SAE Nababan. Terus terang, saya bukan orang paling kenal atau dekat dengan almarhum, tetapi secara pribadi saya kenal. Bukti kedekatan kami beliau dua kali menulis kata pengantar dan kata sambutan di dua buku yang saya tulis. Pertama buku Sikap Antusias Saat Kesulitan Menyengat, Bertahanlah! dan satu lagi buku biografi Belajar Filosofi Air Otobiografi Ir Parlin Sianipar MT.
Dalam pengantar buku saya, beliau menulis,“Saya mengucapkan terima kasih kepada saudara Hojot Marluga atas terbitnya buku ini. Sebagai seorang yang berkesempatan belajar teologi namun tidak menjadi pendeta yang ditahbiskan dengan berkhotbah dari mimbar gereja, melainkan berkhotbah lewat tulisan. Saudara telah memberi teladan yang baik. Teladan bukan karena saudara sebagai pendeta, melainkan karena tulisan ini sebagai hasil pergumulan, mengungkap secara pribadi itu sekaligus mempertemukan firman Tuhan di tengah konteks dan kondisi saat ini,” tulis SAE Nababan.
Pendeta yang sering dipanggil SAE ini memang sosok pemimpin kharismatik. Walau saya tahu banyak juga orang yang tidak suka dengannya. Tetapi harus diakui, dia sosok Pendeta dan tokoh Gereja di Indonesia yang mendunia. Pria kelahiran Tarutung, 24 Mei 1933, menempuh pendidikan Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (STT). Setelah lulus dari Sekolah Tinggi Teologi Jakarta pada tahun 1956, dia vikaris sebagai Pendeta di Distrik HKBP Toba-Samosir, Sibolga dan Tapanuli Selatan yang ketika itu Praesesnya Pdt Cyrellus C Simanjuntak, ayah dari Pdt Dr PWT Simanjuntak.
SAE ini mengakui, Pdt Cyrellus Simanjuntak, ayah dari Pdt Dr PWT Simanjuntak, adalah salah satu Pendeta HKBP yang sangat dikaguminya. Selain cerdas juga mendorong orang muda untuk makin sungguh-sungguh belajar. Sebenarnya melihat kenyataan ini, mestinya tak ada kisah kelam antara SAE Nababan dan PWT Simanjuntak. Banyak jemaat HKBP berharap ada rekonsiliasi kedua tokoh ini, momennya ketika perayaan puncak acara 150 Tahun HKBP di Gelora Bung Karno Senayan Jakarta. Keduanya diharapkan hadir dan duduk sejajar sebagai sesepuh di HKBP. Sayang kedua tokoh tidak hadir dalam acara tersebut.
Setelah lulus dari Sekolah Tinggi Theologi (STT) Jakarta, SAE Nababan melanjutkan pendidikannya di Universitas Heidelberg Jerman, dan lulus dengan gelar Doktor Theologia pada 1963. Dia tercatat di almanak HKBP dua periode menjadi Ephorus tahun 1987-1998. Kariernya dimulai sebagai pendeta pemuda pertama HKBP, anggota Majelis Pusat HKBP. Selanjutnya menjadi Vice Moderator Komite Sentral Dewan Gereja Dunia (DGD) dan Moderator United Evangelical Mission (UEM) pertama. Pernah terpilih menjadi Presiden DGD. Jabatan lain yang pernah dipegangnya adalah Sekretaris Umum Persekutuan gereja-gereja di Indonesia hingga menjadi Ketua Umum Persatuan Gereja Indonesia (PGI), dan kemudian menjadi Ephorus HKBP.
Teologia Keseimbangan
Banyak pemikiran teologis yang disampaikannya, diantaranya adalah bagaimana dia memandang kemiskinan. Selain itu, dialah pendengung pertama teologia keseimbangan. Teologi keseimbangan menurutnya, bertujuan untuk menjembatani pandangan yang berhadapan secara diametral. Pandangan pertama menyatakan, mereka yang unggul akan berhasil maju dan bertahan hidup. Bagi SAE Nababan, Teologia Keseimbangan untuk gereja berjarak, namun tidak memisahkan diri dari kekuasaan. Prinsip ini dapat menjadi panduan bagi umat dan pemimpin kristiani saat berhadapan dengan kekuasaan.
Menteri Riset dan Teknologi di era Presiden Abdurrahman Wahid, Muhammad AS Hikam, juga menyoroti Teologia Keseimbangan yang digagas SAE Nababan, disebut sebagai landasan moral spiritual yang selama ini menopang karya dan pemikiran. “Visi politik berbasis spiritualitas dan moralitas yang dibangun, digemakan, dan dipraktikkan dalam berbagai wacana dan praksis perjuangan.”
Selain itu, Oppung (Kakek-red) dari enam cucu ini banyak terlibat dalam organisasi gereja di tingkat dunia. Pernah menjabat sebagai Sekretaris Pemuda Dewan Gereja-gereja Asia, dan belakangan Presiden dari lembaga yang sama, juga Wakil Ketua dari Komite Sentral Dewan Gereja-gereja se-Dunia, Wakil Presiden Federasi Lutheran se-Dunia dan anggota Komite Eksekutif dari lembaga yang sama. Almarhum juga menjabat sebagai Ketua pertama dari Vereinte Evangelische Mission (United Evangelical Mission), sebuah lembaga misi Internasional yang terdiri atas 34 gereja anggota yang tersebar di Afrika, Asia, dan Jerman.
Dalam sidang raya kesembilan dewan gereja-gereja se-dunia di Porto Alegre, Brasil pada tahun 2006, almarhum terpilih menjadi salah seorang Presiden dari lembaga persekutuan gereja-gereja se-dunia itu yang beranggotakan gereja-gereja Protestan dan Ortodoks. Almarhum meninggalkan isteri, Alida Nababan boru Tobing, dan tiga anak serta enam cucu. Rencananya pemakaman digelar di Siborong-borong di pemakaman keluarga.
Tahun lalu, dia menerbitkan outobioragi, buku yang ditulisanya sendiri, “Selagi Masih Siang” yang menjadi karyanya terakhir. Buku yang mengisahkan masa kecilnya di Tarutung dan Siborong-borong, studi teologi di Jakarta hingga Jerman, serta kiprahnya di gerakan ekumenis Indonesia dan dunia. Ayahnya Jonathan Laba Nababan dan ibunya bernama Erna Dora Lumbantobing. Keduanya berprofesi sebagai guru, pendidik yang juga aktivis.
Ayahnya aktif dalam organisasi kepemudaan Kristen, sementara ibunya juga aktif dalam gerakan kemerdekaan dan menjadi Ketua Persatuan Wanita Repulik Indonesia (Perwari) Siborongborong. Mereka menanamkan nilai-nilai kedisiplinan, kebersihan, kerapihan, rajin dalam belajar dan beribadah, serta kepedulian sosial.
Keluarga Nababan ini memang hebat. Paling tidak SAE Nababan bersama adik-adiknya dikenal di negeri ini seperti Indera Nababan, Panda Nababan dan Asmara Nababan. Benarlah ungkapan dalam bahasa Batak; “dang dao tubis sian bona na.” Didikan orangtuanya berhasil mencerahkan SAE dan saudara-saudaranya. Mereka pun kakak-beradik juga berhasil mengantar keturunanya, seperti Hotasi Nababan dan Putra Nababan, anak adiknya, Pandapotan Nababan yang dikenal Panda Nababan, jurnalis investigatif, itu jadi tokoh di negeri ini. (Hojot Marluga)