Rencana Pembangunan Jalan Penghubung Pakpak Bharat dan Humbang Hasundutan Cuma Omon Omon
EDITORIAL PUBLIK
Ruas jalan Batu Gajah menuju Delleng Simpon sepanjang 2,5 kilometer yang digadang sebagai urat nadi konektivitas Kabupaten Pakpak Bharat dan Kabupaten Humbang Hasundutan kembali menjadi bahan perbincangan. Sejak 2022, jalan ini hanya disuguhi janji tanpa jejak pembangunan yang dapat dilihat maupun dirasakan warga.
Masyarakat Batu Gajah Kecamatan Parlilitan berulang kali menyampaikan keluhan. Mereka meminta Gubernur Sumatera Utara memprioritaskan pembenahan akses ini karena jika jalan terbuka dengan baik, roda ekonomi dua kabupaten dipastikan terdorong naik. Kondisi lapangan justru memperlihatkan fakta yang menyedihkan. Jalan yang disebut seumur kemerdekaan itu masih lebih mirip jalur ekstrem dibanding jalur penghubung dua daerah.
Pemprov Sumatera Utara (Sumut) sebenarnya pernah mengalokasikan anggaran infrastruktur sekitar Rp2,7 triliun untuk diselesaikan hingga 2023. Sebesar Rp810 miliar difokuskan pada wilayah dataran tinggi yang mencakup Simalungun, Karo, Dairi, Pakpak Bharat, Siantar, Toba, Samosir, Tapanuli Utara, dan Humbang Hasundutan.
Dalam salah satu kunjungan kerjanya, Gubernur Sumut saat itu, Edy Rahmayadi, bahkan menempatkan ruas Batugajah menuju Pakpak Bharat sebagai prioritas. Ia menyebut ada alokasi sekitar Rp18,2 miliar. Namun hingga akhir masa jabatannya, masyarakat tidak pernah melihat satu pun alat berat atau titik pekerjaan. Yang tersisa hanyalah ucapan yang tak pernah berubah menjadi tindakan.
Pemerintahan berikutnya membawa angin harapan baru. Gubernur Muhammad Bobby Afif Nasution saat bertemu warga Pakpak Bharat pada 28 Juli 2025 menyatakan bahwa sebagian ruas akan dikerjakan pada 2025 dan ditarget rampung setahun kemudian. Pernyataan itu sempat menumbuhkan optimisme. Tetapi yang tampak hari ini hanyalah jalan yang tetap rusak, kondisi yang tetap sama, dan beban ekonomi masyarakat yang juga tidak berubah.
Sejak 2013, Pemkab Humbang Hasundutan sebenarnya telah berusaha membuka akses menuju Pakpak Bharat melalui pengajuan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan ke Kementerian Kehutanan. Pemprov Sumut melalui UPTD PUPR Doloksanggul juga disebut sempat melakukan pembangunan tahap awal pada 2023. Pekerjaan kemudian terhenti dengan alasan medan yang sangat berat. Bukannya mencari jalan keluar, proyek dihentikan tanpa kejelasan lanjutan.
Kini pemerintah kembali melempar rencana baru. Pada 2025 akan dilakukan peninjauan lapangan bersama sejumlah instansi teknis provinsi, pemerintah daerah, hingga KPH XI dan KPH XIII. Pertanyaannya sederhana. Berapa banyak lagi peninjauan yang harus dilakukan sebelum satu kilometer aspal benar benar tampil di lapangan.
Jalan yang seharusnya menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi dua kabupaten ini justru telah menjadi simbol kegagalan pemerintah provinsi dalam menjalankan janji pembangunan. Sejak 2022, warga terjebak dalam putaran janji yang tidak pernah berubah menjadi tindakan nyata.
Ketika pemerintah provinsi mampu meloloskan anggaran triliunan rupiah untuk berbagai program lain, mengapa jalan yang begitu vital ini tidak tersentuh. Apakah proyek ini dianggap terlalu kecil. Atau memang tidak ada kemauan kuat untuk membuka isolasi warga di dua kabupaten tersebut.
Setiap tahun alasan yang muncul selalu sama. Perencanaan masih disempurnakan. Medan masih disurvei. Desain masih dikaji. Namun rakyat tidak hidup dari kajian. Mereka bergerak dari akses jalan yang layak. Mereka menggantungkan hidup pada aktivitas ekonomi yang hanya dapat berjalan jika kendaraan mereka bisa melewati jalan tanpa merusak mesin dan mengancam keselamatan.
Jika jalan penghubung Pakpak Bharat dan Humbang Hasundutan kembali hanya menjadi janji politik, maka penilaian masyarakat sangat masuk akal. Pembangunan jalan ini bukan gagal. Pembangunan jalan ini memang tidak pernah dimulai. (Redaksi)

