Tidak Ada Dualisme Pengurus PWI Pusat, Hendry Ch Bangun: Kongres Luar (KLB) PWI Tidak Sah
JAKARTA EditorPublik.com –Ketua Persatuan Wartawan Indonesi (PWI), Hendry Ch Bangun, menegaskan bahwa tidak ada dualisme pengurus PWI Pusat.
Hal tesebut dikatakan Hendry Ch Bangun, menjawab pertanyaan sejumah anggota dan pengurus PWI, bahkan pihak di luar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang mengontak dirinya terkait adanya berita tentang sebuah kegiatan, yang disebutkan sebagai Kongres Luar (KLB) PWI di sebuah hotel di kawasan hiburan malam di Jakarta, Minggu (18/8/2024).
“Tidak ada itu kongres luar biasa. KLB itu jelas tertulis syaratnya di Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga (PD PRT) PWI. Kalau tidak terpenuhi, ya tidak sah. Tidak terjadi peristiwa KLB. Kalau sekadar kumpul-kumpul, curhat, bolehlah. Yang pasti bukan kegiatan resmi yang dapat memilih pimpinan tertinggi organisasi PWI,” kata Hendry Ch Bangun melalui keterangan tertulisnya, Senin (19/8/2024).
Hendry kemudian mengutip syarat KLB, Pasal 28 PRT menulis jelas dan tidak bisa ditafsirkan lain: ayat (1) Kongres Luar Biasa diadakan jika diminta oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi dengan alasan ketua umum menjadi terdakwa kasus yang merendahkan harkat dan martabat profesi wartawan. Ayat (2) Kongres Luar Biasa hanya memilih ketua umum baru dan melanjutkan periode kepengurusan. Ayat (3) Kongres Luar Biasa tidak berwenang mengubah PD, PRT, KEJ, dan KPW.
Melalui ketererangan tertulisnya, Hendri mengatakan, karena Pasal 28 PRT sulit dilakukan, para pemberontak yang bernafsu mengkudeta Ketua Umum PWI Pusat hasil Kongres 2023 itu, mereka mencoba menggunakan Pasal 10 PRT ayat (7) yang tertulis: Apabila Ketua Umum berhalangan tetap ditunjuk Pelaksana Tugas dalam rapat pleno pengurus pusat. Selanjutnya Pelaksana Tugas menyiapkan Kongres Luar Biasa untuk memilih Ketua Umum dan Ketua Dewan Kehormatanbaru selambat-lambatnya dalam waktu 6 (enam) bulan.
Hendry mengutip syarat KLB, sebagai berikut, Pasal 28 PRT menulis jelas dan tidak bisa ditafsirkan lain: ayat (1) Kongres Luar Biasa diadakan jika diminta oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi dengan alasan ketua umum menjadi terdakwa kasus yang merendahkan harkat dan martabat profesi wartawan. Ayat (2) Kongres Luar Biasa hanya memilih ketua umum baru dan melanjutkan periode kepengurusan. Ayat (3) Kongres Luar Biasa tidak berwenang mengubah PD, PRT, KEJ, dan KPW.
“Lha kapan saya berhalangan tetap?, Insya Allah saya masih sehat walfiat. Masih berkantor hampir setiap hari di Sekretariat PWI Pusat di lantai 4 Gedung Dewan Pers Jalan Kebon Sirih Jakarta. Saya bahkan lebih sering naik KRL dari rumah karena murah dan cepat, berdiri, sekitar 30 menit dan disambung naik TransJakarta. Sejauh ini tidak ada masalah kesehatan,” ujar Hendry.
Sebelumnya, ramai diberitakan bahwa Hendry sudah diberhentikan sebagai anggota PWI oleh Dewan Kehormatan? Lalu dieksekusi oleh Pengurus PWI Jaya.
“Ada dua persoalan di sini yang mereka lupa. Dewan Kehormatan memang berwenang menyatakan dan memutuskan sanksi atas anggotanya, tetapi sifatnya rekomendasi yang eksekusi keputusannya ada di tangan Ketua Umum PWI Pusat,” tegasnya.
Sebelumnya, ramai diberitakan bahwa Hendry sudah diberhentikan sebagai anggota PWI oleh Dewan Kehormatan? Lalu dieksekusi oleh Pengurus PWI Jaya.
“Ada dua persoalan di sini yang mereka lupa. Dewan Kehormatan memang berwenang menyatakan dan memutuskan sanksi atas anggotanya, tetapi sifatnya rekomendasi yang eksekusi keputusannya ada di tangan Ketua Umum PWI Pusat,” tegasnya.
Lebih lanjut Hendri menyebutkan, bahwa di periode lalu itu sudah terjadi, ada Keputusan Dewan Kehormatan yang ditandatangani oleh Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat Ilham Bintang dan Sekretaris Dewan Kehormatan PWI Pusat Sasongko Tedjo, memberhentikan Zulkifli Gani Ottoh.
“Ketua Umum periode 2018-2023 yang lalu, Atal S Depari tidak menggubrisnya. Cuek bebek. Malahan Zulkifli yang menjabat Ketua Bidang Organisasi ditetapkan sebagai Ketua Panitia Pengarah Kongres PWI 25-26 September 2023 di Bandung. SK Dewan Kehormatan hanyalah macan ompong. Tidak berlaku, tidak terjadi apabila tidak dijalankan eksekutif, pengurus harian yang dipimpin ketua umum, tertulis di PRT Pasal 19 ayat (3)
“Dewan Kehormatan menyampaikan putusan sanksi kepada Pengurus Pusat untuk dilaksanakan”. Yang di ayat (4) Apabila pengurus pusat tidak dapat melaksanakan putusan sanksi maka Keputusan itu dibawa ke rapat pleno pengurus lengkap yang diperluas,” papar Hendri.
Rapat pleno diperluas itu sudah dilakukan, dihadiri Sasongko Tedjo sebagai Ketua Dewan Kehormatan secara fisik, dan juga Ketua Dewan Penasehat melalui zoom, dan disahkan bahwa sanksi atas pemberhentian Hendry Ch Bangun, dibatalkan. Tidak ada adu argumentasi selama rapat. Beberapa hari kemudian, baru protes.
“Aneh saja. Yang kedua, PWI Jaya menetapkan pemberhentian saya sebagai ketua umum atas rekomendasi Dewan Kehormatan yang cacat karena ditandatangani oleh Nurcholis Basyairi yang sudah tidak lagi menjabat Sekretaris Dewan Kehormatan dalam susunan pengurus baru hasil rapat 27 Juni 2024 yang ada Akte Notarisnya dan disahkan Kemenkumham dengan nomer AHU-0000946.AH.01.08.Tahun 2024 pada 9 Juli 2024. Ini aneh bin lucu yang memperlihatkan seorang ketua provinsi dan pengurusnya dalam memahami PD PRT. Ditambah lagi, PWI DKI Jakarta, belum memiliki organ Dewan Kehormatan Provinsi. Keputusan diambil beberapa orang dalam peristiwa yang mereka sebut rapat, yang tentu saja cacat karena bahan disodorkan DK Pusat, bukan DK Provinsi,” jelas Hendry.
Sesuai PRT Pasal 20 ayat (3), apabila Dewan Kehormatan Pusat menilai Hendri bersalah seharusnya mereka meminta DK Provinsi DKI Jakarta untuk memeriksa yang bersangkutan. Tentu dengan temuan atau bukti-bukti atau ada pihak yang mengadukannya. DK Provinsi DKI lalu memberi rekomendasi, secara administratif meminta Pengurus PWI DKI meneruskannya ke PWI Pusat untuk diserahkan ke Dewan Kehormatan Pusat, untuk dirapatkan dan dibuat Keputusan.Lalu, keputusan itu yang diserahkan ke Pengurus Harian PWI Pusat, untu dieksekusi oleh Ketua Umum PWI Pusat.
Menurut Hendry, kecerobohan Dewan Kehormatan PWI Pusat juga terjadi ketika menjatuhkan sanksi kepada Mohamad Ihsan, Syarif Hidayatulah, dan Sayid Iskandarsyah, karena tidak melalui klarifikasi atau konfirmasi karena mereka berhalangan hadir dan bahkan surat undangan tidak ada. Sampai detik ini tidak ada permintaan maaf atas kekeliruan massal itu. Nama boleh hebat, tapi pemahaman aturan organisasi, tidak memadai untuk menduduki jabatan terhormat.
“Syarat saya tidak berhalangan tetap tidak terpenuhi karena masih sehat. Saya masih sah sebagai anggota PWI sehingga masih menjabat Ketua Umum PWI Pusat sesuai aturan negara dengan adanya SK Kemenkumham AHU 0000946.AH.01.08 Tahun 2024 tersebut. Dengan demikian, menggunakan Pasal 10 ayat (7) PRT untuk menggelar KLB,” kata Hendry.
Berikutnya lagi, ujar Hendry, syarat bahwa KLB harus didukung setidaknya 2/3 jumlah provinsi, artinya minimal diusulkan 26 provinsi—saat ini ada PWI di 38 provinsi, ditambah satu cabang khusus Solo sebagai kota berdirinya PWI pada 9 Februari 1946. Apa yang terjadi dengan omon-omon sejumlah anggota PWI yang mengaku panitia KLB? Sampai selesai acara syarat itu tidak terpenuhi. Di dalam rilis yang disebarluaskan media massa, disebut hanya 21 provinsi yang hadir.
“Mereka menunjukkan cacat aturan dengan sendirinya. Itupun kalau benar yang hadir Ketua dan Sekretaris PWI Provinsi. Dari foto-foto yang dikumpulkan simpatisan PWI, yang tampak wajahnya hanyalah Ketua PWI Maluku Utara, Ketua PWI Sulawesi Barat, Ketua PWI Sulawesi Tenggara, Ketua PWI Jawa Timur, Ketua PWI Papua Barat, yang masih sah. Hadir pula eks Ketua PWI DKI Jakarta, eks Ketua PWI Bangka Belitung, eks Ketua PWI Riau, eks Ketua PWI Banten, karena mereka semua sudah diberhentikan oleh PWI Pusat, dan sudah ada Pelaksana Tugasnya, pada saat menghadiri apa yang disebut KLB itu,” tulisnya.
Ada pula yang mengaku mewakili PWI Provinsi seperti, Ketua DKP Kepri, Ketua DKP Jambi, Ketua DKP Sumsel, Ketua DKP Lampung, Ketua DKP Jateng, yang tidak punya hak suara. Ada pula anggota atau pengurus dari beberapa provinsi, yang dalam sebuah kongres, pasti tidak boleh mewakili provinsi karena bukan kewenangannya.
Ada lagi penggembira yang datang dari beberapa wilayah Jakarta atau Banten, yang sengaja didatangkan untuk memeriahkan acara sehingga terkesan ramai, di antaranya mantan pengurus, termasuk Firdaus, pecatan Ketua Bidang Organisasi di era Atal S Depari, yang kini menjabat Ketua Umum SMSI.
Pesta usai, hasil tidak sesuai harapan. Tidak korum, tidak sah. Dilakukan orang mengaku pengurus PWI Pusat, padahal sudah diberhentikan. Entah berapa ratus juta, atau mungkin di atas satu miliar, yang dihabiskan untuk menggelar acara yang gagal karena tidak memenuhi syarat sebuah KLB. Hendry sudah menduga siapa bandarnya, yang rela berkorban membelikan tiket, uang saku, dan akomodasi gratis, tetapi biarlah waktu yang menjawabnya.
Jadi dari KLB itu tegas sekali kesimpulannya. Tidak ada itu dualisme PWI. Organisasi PWI hanya satu, sesuai SK Kemenkum dalam AHU-0000946.AH.01.08.Tahun 2024 tertanggal 9 Juli 2024. Sebelumnya sekelompok orang pecatan itu sudah beraudiensi dengan Menkumham Yasonna Laoly dan berhasil membuat SK Kemenkumham itu tidak bisa diakses. Rupa-rupanya blokir itu disetujui karena ada surat resmi yang masuk dan hak subjektif Menteri.
Hendri sendiri me-WA Yasonna Laoly, karena sesuai dengan Peraturan Menkumham, apabila ada diblokir dan tidak bisa diakses, maka seharusnya Kemenkumham memberitahu dan memberi klarifikasi ke Pengurus PWI Pusat yang sah. Dia melanggar aturan yang dibuatnya sendiri hanya untuk kepentingan segelintir orang. Ya, mungkin karena sesama simpatisan capres tertentu waktu pilpres lalu. “Ayo move on lah” tulis Hendry.
Hendry mengakhiri tulisannya dengan menyatakan, tidak selembar daun jatuh tanpa seizin Nya. Apapun yang terjadi ke depan Dia lah yang menentukan, bukan kita manusia. Hendri tidak ingin mempertahankan jabatan Ketua Umum PWI Pusat untuk kepentingan pribadi dan segala cara, meskipun periodenya sesuai hasil Kongres PWI 2023 adalah sampai September 2028. Hendri iklhas menerima takdir-Nya. Hanya saja Hendri tidak suka organisasi profesi yang besar ini, diatur orang untuk kepentingan politiknya. Apalagi didukung oleh bandar, melalui antek-anteknya yang mengaku wartawan professional. (Msk)