Mudahnya Penerbitan Izin Kehutanan Ancam Kelestarian Hutan Indonesia
JAKARTA EditorPublik.com – Kemudahan seorang kepala desa dalam menerbitkan Surat Keterangan Tanah (SKT), yang kemudian dijadikan dasar untuk memperoleh status Pemilik Hak Atas Tanah (PHAT) pada Areal Penggunaan Lain (APL), membuka celah bagi perambahan hutan dan praktik ilegal lainnya. Hal ini berpotensi mempercepat laju kerusakan hutan di Indonesia.
SKT sejatinya hanya berfungsi sebagai dokumen yang menerangkan riwayat kepemilikan tanah oleh seseorang. Tanah dengan dokumen kepemilikan SKT belum bersertifikat atau belum didaftarkan status haknya ke Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Namun, dalam praktiknya, dokumen ini sering digunakan sebagai dasar untuk membuka lahan dengan dalih pertanian. Sayangnya, di lapangan, izin ini kerap dimanfaatkan untuk kegiatan ilegal, seperti penebangan kayu secara masif, yang merusak ekosistem hutan dan mengancam keberlanjutan lingkungan.
Ephorus Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Pdt. Dr. Victor Tinambunan, MST, turut mengkritisi kerusakan hutan akibat penerbitan izin yang longgar. Ia menyoroti pernyataan Balai Pengelolaan Hutan Lestari (BPHL) Wilayah II terkait penebangan hutan di Tarabintang dan Parlilitan, yang dinilai seolah-olah melegalkan pembabatan hutan APL tanpa evaluasi yang mendalam serta mengabaikan keluhan masyarakat terdampak.
“Mari kita catat, jika bencana terjadi di Tarabintang dan Parlilitan (kiranya tidak terjadi), maka BPHL Wilayah II harus ikut bertanggung jawab,” tulis Ephorus melalui akun Facebook-nya pada Sabtu (29/3/2025).
Lebih lanjut, Ephorus HKBP mempertanyakan makna kata “Lestari” dalam nama BPHL Wilayah II, mengingat adanya penebangan pohon yang dinilai tidak sejalan dengan prinsip kelestarian lingkungan.
Seharusnya, BPHL memiliki peran krusial dalam memastikan keabsahan dan konsistensi dokumen administrasi, seperti SKT dan PHAT, sebelum memberikan akses ke Sistem Informasi Perizinan Usaha Hasil Hutan (SIPUHH). BPHL wajib melakukan verifikasi terhadap keabsahan dan kelengkapan dokumen yang diajukan pemegang hak atas tanah atau hasil hutan. Proses ini harus mencakup pengecekan kesesuaian data dengan peraturan perundang-undangan serta standar teknis yang berlaku.
Proses administrasi yang ketat dan transparan sangat diperlukan agar pemberian akses SIPUHH sesuai dengan persyaratan administratif dan legal yang berlaku. Dengan demikian, pengelolaan hasil hutan dapat dilakukan secara berkelanjutan dan tidak merugikan lingkungan maupun masyarakat sekitar.
Secara hukum, pemalsuan dokumen merupakan tindak pidana yang diatur dalam KUHP, yang bisa berujung pada hukuman penjara dan atau denda.
Langkah awal adalah penyelidikan dan penyidikan oleh aparat penegak hukum untuk mengumpulkan bukti, diikuti dengan proses peradilan. Jika pengadilan menyatakan bersalah, maka dampak hukumnya akan menyesuaikan dengan beratnya pelanggaran yang dilakukan.
Kemudahan penerbitan izin kehutanan juga memicu konflik antara masyarakat lokal dan pihak industri kayu. Komunitas yang bergantung pada hutan untuk mata pencaharian sering kali kehilangan akses terhadap sumber daya alam mereka. Persaingan kepentingan ini kerap berujung pada ketidakadilan sosial dan ketegangan antar kelompok.
Selain itu, lemahnya proses perizinan membuka peluang bagi praktik korupsi. Indikasi adanya kepentingan ekonomi dalam penerbitan izin, tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan dan sosial, menunjukkan potensi penyalahgunaan wewenang dalam birokrasi kehutanan. Oleh karena itu, pengawasan dan penegakan hukum yang lebih ketat diperlukan guna memastikan kelestarian hutan Indonesia tetap terjaga.(Msk)