Berita UtamaHukumNusantaraPendidikan

Penangkapan di Depan Anak, Cermin Hilangnya Kepekaan Aparat

Editorial  Publik

Tindakan penegakan hukum, sekuat apa pun dasar hukumnya, akan kehilangan makna jika dijalankan tanpa mempertimbangkan sisi kemanusiaan. Seperti peristiwa penangkapan paksa terhadap seorang terduga di depan anaknya yang masih di bawah umur, saat sang orang tua tengah mengantarkan anak ke sekolah.

Peristiwa tersebut terjadi di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Polres Dairi menangkap seorang pria berinisial PS, yang diduga terlibat dalam penghasutan pembakaran dan perusakan aset PT Gunung Raya Utama Timber Industries (Gruti) di Desa Parbuluan VI, Kecamatan Parbuluan. Kasi Humas Polres Dairi, Ipda Ringkon Manik, membenarkan penangkapan itu.

“Benar, tersangka PS telah diamankan ke Mapolres setelah diringkus dari Desa Parbuluan VI tadi pagi sekitar pukul 07.30 WIB,” ujarnya dikutip dari mistar.id, Rabu (12/11/2025).

Namun di balik langkah penegakan hukum tersebut, muncul pertanyaan yang patut direnungkan: apakah tindakan aparat sudah mempertimbangkan dampak psikologis terhadap anak yang menyaksikannya secara langsung?

Asas Kemanusiaan yang Terabaikan

Konstitusi Indonesia menegaskan perlindungan terhadap anak dari segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan psikis. Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Melihat orang tua ditangkap secara paksa di depan mata dapat meninggalkan trauma mendalam bagi anak. Peristiwa seperti ini tidak hanya menyangkut soal prosedur hukum, tetapi juga hak anak untuk tumbuh dalam lingkungan yang aman dan bebas dari tekanan psikologis.

Negara, melalui aparatnya, memiliki tanggung jawab untuk memastikan perlindungan itu berjalan. Hukum semestinya hadir dengan wajah yang manusiawi, bukan menimbulkan ketakutan baru bagi anak-anak.

Prinsip Perlindungan Anak yang Terlupakan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak secara tegas menugaskan aparat penegak hukum untuk mencegah segala bentuk kekerasan terhadap anak. Penangkapan di ruang publik, apalagi di hadapan anak yang masih kecil, dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan psikis.

Dalam konteks ini, kepekaan aparat menjadi kunci. Pelaksanaan hukum tanpa memperhitungkan situasi sosial di sekitarnya berpotensi melanggar prinsip-prinsip perlindungan anak yang telah diatur oleh negara sendiri.

Profesionalitas dan Etika yang Diuji

Kewenangan aparat untuk melakukan penangkapan memang diatur dalam Pasal 18 KUHAP. Namun, kewenangan itu datang bersama tanggung jawab moral untuk menjaga martabat orang yang ditangkap. Profesionalitas dalam penegakan hukum menuntut adanya pertimbangan waktu, tempat, dan dampak sosial dari tindakan yang diambil.

Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip HAM dalam Tugas Polri menegaskan bahwa setiap tindakan aparat harus memenuhi prinsip proporsionalitas, kebutuhan, dan akuntabilitas. Artinya, bila penangkapan bisa dilakukan di waktu dan tempat lain tanpa menghambat proses hukum, seharusnya opsi itu diutamakan.

Hukum yang Tegas, Bukan yang Buta

Keadilan tidak diukur dari seberapa keras hukum ditegakkan, melainkan dari bagaimana hukum dijalankan dengan empati. Penegakan hukum yang mengabaikan hak-hak dasar anak berpotensi menimbulkan luka sosial yang lebih dalam daripada pelanggaran itu sendiri.

Dalam tahap penyelidikan maupun penyidikan, asas praduga tak bersalah tetap berlaku. Penangkapan di ruang publik di depan anak berisiko menimbulkan stigma sosial dan menurunkan martabat seseorang sebelum proses hukum berjalan tuntas.

Saatnya Menegakkan Hukum dengan Nurani

Aparat penegak hukum bukan sekadar pelaksana perintah, tetapi juga penjaga nilai kemanusiaan. Mereka dituntut untuk bertindak bijak dan peka terhadap situasi yang dihadapi masyarakat.

Hukum yang dijalankan dengan nurani tidak hanya menegakkan keadilan, tetapi juga menjaga martabat manusia. Negara hukum sejati bukan yang kaku pada aturan, melainkan yang hidup dari rasa keadilan dan kemanusiaan.

Karena di titik inilah sejatinya hukum diuji: bukan pada seberapa tegas ia ditegakkan, melainkan pada seberapa besar ia memahami dan melindungi sisi kemanusiaan di dalamnya. (Redaksi)