Polemik Kongres PWI di Cikarang, Legitimasi Dipertanyakan
Oleh Abdul Munib
KEGIATAN yang digelar di Cikarang dengan agenda pemilihan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan menyebut dirinya sebagai Kongres Persatuan PWI menuai perdebatan. Sejumlah peserta menilai forum tersebut tidak memiliki dasar konstitusional dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (PD/PRT) organisasi maupun legitimasi dari forum pemilik suara yang sah.
Latar Belakang
Dalam pertemuan di Cikarang pada 30 Agustus 2025, Ahmad Munir terpilih dengan 52 suara, sementara Hendri Chairudin Bangun memperoleh 35 suara dari total 87 suara yang diperebutkan. Namun, sejumlah peserta menilai forum itu lebih menyerupai simulasi pemilihan ketua daripada sebuah kongres resmi.
Kontroversi ini mencuat karena PWI baru saja menyelenggarakan kongres lima tahunan di Bandung pada 2023. Selain itu, syarat pelaksanaan Konferensi Luar Biasa (KLB) sebagaimana diatur dalam PD/PRT, yaitu apabila ketua meninggal, mengundurkan diri, atau berhalangan tetap, juga tidak terpenuhi. Ketua terpilih 2023, Hendri C. Bangun, bahkan ikut kembali mencalonkan diri dalam forum Cikarang.
Perdebatan di Forum
Beberapa peserta, termasuk perwakilan PWI Jawa Timur, Sumatera Barat, dan Papua, menyampaikan usulan agar forum Cikarang terlebih dahulu menetapkan dasar hukum dan mufakat bersama sebelum melanjutkan agenda. Mereka menekankan pentingnya legitimasi floor sebagai pemilik suara untuk menentukan apakah pertemuan tersebut layak disebut kongres.
Namun, pimpinan sidang, Zulkifli Gani Oto, tidak membawa usulan itu ke forum. Keputusan tersebut dinilai membuat momentum quorum terlewatkan, sehingga kegiatan tidak memiliki legitimasi formal maupun konstitusional.
Dampak dan Kritik
Kegiatan Cikarang disebut-sebut sebagai buntut dari konflik internal PWI dalam dua tahun terakhir, termasuk polemik dana uji kompetensi wartawan, dualisme penyelenggaraan Hari Pers Nasional, hingga sengketa kantor Kebun Sirih yang digunakan bersama Dewan Pers.
Sejumlah pihak juga menilai pemerintah, melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), terlalu jauh ikut campur dalam dinamika organisasi wartawan. Kehadiran pejabat negara dalam forum itu dianggap memberi legitimasi politik, meski secara organisasi masih dipertanyakan.
Pandangan Pengamat
Pengamat menilai, sebagai organisasi yang hampir berusia delapan dekade, PWI seharusnya menegakkan konstitusi organisasi dan menghindari praktik yang menimbulkan keraguan.
“Kongres adalah forum tertinggi, tidak bisa digantikan hanya dengan pertemuan yang tidak diatur dalam PD/PRT,” ujar salah seorang mantan pengurus PWI yang kini memilih mundur.
Ia menambahkan, tanpa dasar hukum yang jelas, keputusan forum Cikarang akan mudah diperdebatkan dan berpotensi melemahkan soliditas organisasi ke depan.
Penutup
Hingga kini, perdebatan soal keabsahan forum Cikarang masih berlangsung. Bagi sebagian pihak, yang terpenting adalah adanya ketua baru untuk membawa PWI keluar dari konflik internal. Namun bagi pihak lain, legitimasi dan dasar hukum kongres tetap merupakan hal mendasar yang tidak boleh diabaikan.
*)Penulis adalah mantan pengurus PWI yang baru saja mengundurkan diri dan kini memilih jalur PWI kultural.