Berita UtamaHukumOpiniPolitik

Korupsi Dana Desa yang Tak Kunjung Reda

EDITORIAL

KASUS korupsi dana desa kembali menjadi sorotan publik. Praktik penyelewengan yang semestinya bisa dicegah sejak awal justru terus berulang dengan pola yang hampir seragam. Berbagai perkara yang terungkap di persidangan memperlihatkan bahwa modus korupsi dana desa kerap memanfaatkan celah administratif yang sulit diawasi langsung oleh masyarakat.

Modus paling klasik adalah belanja dan proyek fiktif. Aparat desa mengajukan kegiatan atau pengeluaran yang sejatinya tidak pernah dilaksanakan. Kalaupun ada, nilainya sering di-mark up untuk menutup selisih yang berujung ke kantong pribadi. Anggaran yang seharusnya dipakai untuk pembangunan jalan, fasilitas pendidikan, atau pemberdayaan masyarakat desa, akhirnya hanya tercatat di atas kertas.

Modus lain adalah pemalsuan dokumen. Faktur, kuitansi, hingga laporan pertanggungjawaban kerap direkayasa agar terlihat sesuai prosedur. Laporan semu ini seakan-akan menunjukkan uang negara sudah dibelanjakan, padahal realitasnya nihil. Aparat pengawas pun kesulitan menelusuri penyimpangan sejak dini.

Tidak sedikit pula kasus penggelapan pajak desa. Dana yang semestinya disetorkan ke kas negara justru ditahan atau diselewengkan, membuat kerugian negara berlipat. Bahkan ada praktik paling terang: pemindahan dana langsung ke rekening pribadi pejabat desa atau dipakai untuk konsumsi mewah, investasi, maupun biaya politik.

Ironisnya, sejak 2015 pemerintah pusat mengucurkan dana desa untuk mempercepat pembangunan dan mengurangi ketimpangan. Namun yang tampak di lapangan justru wajah muram: korupsi dana desa menjadi fenomena berulang, dengan modus beragam tetapi tetap berakar pada lemahnya pengawasan.

Lebih mengkhawatirkan, muncul dugaan bahwa praktik korupsi ini bukan semata ulah kepala desa atau perangkatnya. Ada indikasi keterlibatan aparat penegak hukum (APH) yang seharusnya menjadi pengawas, tetapi justru melakukan pembiaran. Beberapa laporan bahkan menyebut adanya oknum APH yang menyarankan kepala desa berbelanja ke toko tertentu yang terkait kepentingan mereka.

Jika dugaan ini benar, maka persoalan korupsi dana desa sudah masuk ranah mafia anggaran dengan jejaring lebih luas. Kepala desa pun terjebak dalam posisi dilematis: menolak berarti berhadapan dengan aparat, menerima berarti ikut larut dalam lingkaran setan penyelewengan.

Editorial ini menegaskan, pengawasan dana desa tidak boleh berhenti pada laporan administrasi atau audit rutin. Keterlibatan publik menjadi kunci, mulai dari Badan Permusyawaratan Desa, tokoh masyarakat, hingga kelompok pemuda. Lebih penting lagi, institusi penegak hukum harus membersihkan diri dari dugaan keterlibatan oknum yang justru melindungi praktik korupsi.

Negara tidak boleh membiarkan dana desa menjadi ladang basah segelintir elite lokal dan aparat nakal. Sebab setiap rupiah yang dikorupsi berarti ada jalan desa yang gagal dibangun, ada irigasi yang tak pernah mengalir, ada petani yang tetap hidup dalam kesulitan, dan ada anak-anak desa yang kehilangan masa depan.

Fenomena ini menunjukkan bahwa korupsi dana desa bukan sekadar persoalan oknum, melainkan cermin lemahnya sistem pengawasan dan transparansi. Tanpa langkah konkret, korupsi dana desa hanya akan menjadi luka lama yang diwariskan dari satu kepala desa ke kepala desa berikutnya, meninggalkan jejak kemiskinan dan ketidakpercayaan publik terhadap negara.(Redaksi)