Bekasi RayaBerita UtamaLingkungan HidupPolitik

PLTSa Bekasi: Antara Harapan Mengurai Gunung Sampah dan Ancaman Baru bagi Lingkungan

Oleh: Nurul Sumarheni

KOTA BEKASI – Pemerintah bersiap memulai babak baru dalam penanganan sampah nasional. Mulai 6 November 2025, PT Danantara akan membuka tender gelombang pertama proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) atau Waste to Energy (WtE). Dari tujuh daerah prioritas nasional, Kota Bekasi kembali menjadi salah satu sorotan. Menariknya, dari 24 perusahaan yang lolos seleksi pendahuluan, seluruhnya berasal dari luar negeri.

Proyek ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan melalui Pengolahan Sampah menjadi Energi Terbarukan Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Regulasi ini hadir untuk menjawab persoalan darurat sampah nasional yang telah mencapai lebih dari 56 juta ton per tahun, sementara tingkat pengelolaannya baru menyentuh 39 persen. Pemerintah menargetkan PLTSa menjadi solusi strategis untuk mengurai timbunan sampah sekaligus mendukung transisi energi hijau menuju 2029.

BACA JUGA: Danantara Buka Tender Nasional Proyek PLTSa, Bekasi Masuk Gelombang Pertama

Bagi warga Bekasi, langkah ini menumbuhkan harapan besar. Gunungan sampah di Bantar Gebang yang selama puluhan tahun menjadi “luka ekologis” di jantung metropolitan Jabodetabek diharapkan segera berkurang. Presiden Prabowo Subianto bahkan pernah mengeluarkan perintah tegas untuk “memusnahkan gunung sampah Bantar Gebang.” Bila dijalankan secara serius, PLTSa diyakini mampu mengubah krisis lingkungan menjadi peluang energi.

Namun di balik optimisme itu, muncul kekhawatiran yang tak bisa diabaikan. Sejumlah organisasi lingkungan seperti WALHI, Zero Waste Indonesia, dan Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA) menilai proyek PLTSa berpotensi menjadi solusi semu. Dalam kajian yang dirilis sejak awal 2024, mereka menyoroti risiko besar teknologi incinerator terhadap lingkungan, kesehatan, dan stabilitas ekonomi daerah.

Sedikitnya ada lima hal yang perlu diwaspadai publik.

Pertama, risiko polusi udara beracun. Pembakaran sampah yang tidak homogen berpotensi menghasilkan dioksin dan furan, dua zat beracun bersifat karsinogenik yang nyaris tak terurai di alam.

Kedua, muncul limbah baru berupa abu dasar dan abu terbang (fly ash dan bottom ash) yang tergolong limbah B3. Pengelolaannya menuntut biaya tinggi dan prosedur khusus.

Ketiga, jebakan ekonomi. Skema PLTSa menuntut pasokan sampah minimal 1.000 ton per hari serta pembayaran tipping fee tinggi, yang bisa menjadi beban fiskal jangka panjang bagi daerah.

Keempat, karakter sampah di Indonesia yang dominan organik dan memiliki kadar air tinggi menyebabkan efisiensi pembakaran rendah tanpa tambahan bahan kering bernilai kalori tinggi.

Kelima, ancaman terhadap gerakan 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Ketergantungan pada pasokan sampah besar dapat menurunkan motivasi masyarakat dan pemerintah daerah dalam memilah serta mendaur ulang sampah di hulu.

Peringatan ini semestinya tidak diabaikan. Pemerintah perlu menyiapkan langkah mitigasi menyeluruh sebelum proyek dijalankan. Pengendalian emisi harus dilakukan dengan sistem filtrasi berlapis untuk mencegah pencemaran udara, sementara residu abu perlu diteliti agar dapat dimanfaatkan kembali, misalnya sebagai bahan konstruksi yang aman.

Dari sisi ekonomi, skema proyek harus transparan dan tidak membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pola bagi hasil listrik antara pemerintah daerah dan investor bisa menjadi alternatif yang lebih adil. (red)

*) penulis adalah mantan Ketua KPUD Kota Bekasi