Bekasi RayaBerita UtamaOpiniPolitik

Penyerapan APBD Kota Bekasi Lambat, Dana Mengendap di Bank Cerminkan Masalah Tata Kelola

EDITORIAL PUBLIK

Kota Bekasi kembali tersandung pada persoalan klasik: rendahnya penyerapan anggaran daerah di penghujung tahun. Hingga pertengahan Oktober 2025, serapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) baru mencapai sekitar 50,7 persen, padahal waktu efektif pelaksanaan tinggal dua bulan lagi. Ironisnya, diduga saldo dana di rekening kas umum daerah (RKUD) justru menumpuk hingga Rp1,7 triliun.

Angka fantastis itu menimbulkan pertanyaan publik, untuk apa uang rakyat sebesar itu dibiarkan mengendap di bank sementara pembangunan berjalan tersendat dan banyak kebutuhan masyarakat belum terpenuhi?

Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto, memang sudah mengingatkan para kepala dinas agar mempercepat realisasi anggaran. Namun, peringatan ini tampak seperti ritual tahunan yang diulang tanpa hasil berarti. Dari tahun ke tahun, masalahnya sama, yaitu perencanaan yang lemah, pelaksanaan yang lambat, dan birokrasi yang tersandera prosedur.

Fenomena dana daerah yang “rebahan” di bank bukan hanya terjadi di Bekasi. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa bahkan menyebut ada Rp234 triliun dana pemerintah daerah di seluruh Indonesia yang belum terserap. Ia menyiratkan, potensi penyimpangan dalam bentuk bunga deposito patut diusut.

“Saya tidak tahu siapa yang menikmati bunga deposito itu, nanti BPK yang akan menginvestigasi,” ujar Purbaya di Jakarta, Kamis (23/10/2025).

Pernyataan ini menyentil keras daerah-daerah yang menjadikan APBD seperti tabungan pribadi. Jika dana publik justru lebih lama berdiam di bank ketimbang bekerja di lapangan, maka fungsi anggaran sebagai instrumen pembangunan telah gagal dijalankan.

Kepala BPKAD Kota Bekasi, Yudianto, mencoba meredam sorotan dengan menyebut saldo Rp1,7 triliun itu bukan dana yang sengaja diendapkan, melainkan bagian dari proses realisasi yang masih berjalan. Tetapi fakta di lapangan menunjukkan progres proyek fisik masih tertinggal. DPRD Kota Bekasi bahkan mencatat bahwa kegiatan baru berjalan sekitar 30 persen hingga Oktober.

Editorial ini menilai lambannya serapan anggaran bukan sekadar soal teknis, tetapi soal kemauan politik dan kualitas manajemen pemerintahan. Setiap rupiah di kas daerah adalah titipan publik yang seharusnya segera diubah menjadi jalan yang layak, layanan publik yang efisien, dan fasilitas yang benar-benar dirasakan manfaatnya oleh warga.

Selama uang rakyat lebih nyaman tidur di rekening bank ketimbang bekerja untuk masyarakat, maka jargon “pembangunan berkelanjutanhanya akan menjadi slogan kosong.

Pemerintah Kota Bekasi harus berani melakukan introspeksi, membenahi sistem perencanaan, memperkuat pengawasan internal, dan menuntut tanggung jawab moral dari para pejabat pelaksana anggaran. Sebab pada akhirnya, rakyat tidak membutuhkan saldo triliunan di Rekening Kas Umum Daerah (RKUD), tetapi hasil nyata dari uang mereka sendiri.(Red)