Hentikan Konflik Agraria dengan Masyarakat Adat, Negara Harus Tunduk pada Putusan MK
EDITORIAL PUBLIK
GELOMBANG KONFLIK agraria terus menghantui masyarakat adat di berbagai daerah Indonesia. Dari Sumatera hingga Papua, benturan kepentingan antara negara, korporasi, dan masyarakat adat nyaris tidak pernah padam. Ironisnya, banyak kasus berakar pada lemahnya kepastian hukum kawasan hutan, padahal Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menegaskannya lewat Putusan No. 45/PUU-IX/2011.
Putusan MK tersebut menyatakan kawasan hutan tidak bisa sekadar ditetapkan melalui “penunjukan” sepihak oleh pemerintah. Penunjukan hanyalah langkah awal yang wajib dilanjutkan dengan penataan batas, pemetaan, hingga penetapan resmi. Tanpa prosedur itu, klaim pemerintah bahwa suatu wilayah merupakan kawasan hutan negara tidak memiliki kekuatan hukum.
BACA JUGA: Uskup Agung Medan Desak PT TPL Hentikan Kekerasan terhadap Warga Sihaporas
Poin penting Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011:
- Definisi kawasan hutan harus jelas, pasti, dan ditetapkan melalui proses penelitian, pemetaan, serta pengukuhan hukum.
- Penunjukan kawasan hutan hanya bersifat sementara, penataan batas harus melibatkan masyarakat, dan penetapan baru memberi kepastian hukum tetap.
- Putusan hadir untuk melindungi hak konstitusional masyarakat, khususnya masyarakat adat, dari penetapan kawasan hutan yang sewenang-wenang.
- Negara tidak boleh merampas hak ulayat warga sebelum menyelesaikan status hukum kawasan.
- KLHK wajib meninjau ulang seluruh penetapan kawasan hutan agar sesuai prosedur hukum.
- Izin usaha yang keluar di wilayah tanpa penetapan sah berpotensi menimbulkan konflik sosial dan hukum.
Namun kenyataan di lapangan justru sebaliknya. Ribuan desa, perkebunan rakyat, hingga tanah adat masih dicap sebagai kawasan hutan hanya bermodalkan surat penunjukan yang belum ditindaklanjuti. Dampaknya, hak ulayat masyarakat adat tergerus, lahan garapan warga dianggap ilegal, bahkan ada yang dikriminalisasi karena dituduh menyerobot hutan negara.
BACA JUGA: Komnas HAM Kecam Kekerasan PT Toba Pulp Lestari terhadap Warga Sihaporas
Kasus konflik antara PT Toba Pulp Lestari (TPL) dan masyarakat adat Sihaporas di Simalungun, Sumatera Utara, menjadi contoh nyata. Tanah ulayat yang dikelola turun-temurun oleh masyarakat diklaim masuk dalam konsesi perusahaan. Sengketa berkepanjangan ini menimbulkan ketegangan sosial sekaligus membuka ruang kriminalisasi terhadap warga adat.
Putusan MK seharusnya menjadi pintu perubahan paradigma pengelolaan hutan. Sayangnya, implementasi masih jauh dari harapan. Pemerintah lamban dalam melakukan penetapan, sementara masyarakat adat terus menanggung akibatnya.
Editorial ini menegaskan, negara tidak boleh lagi menutup mata. Menjalankan Putusan MK bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga jalan meredam konflik agraria yang kian mengancam keutuhan sosial bangsa.
Konflik agraria tidak boleh dibiarkan menjadi bara abadi yang membakar desa-desa adat. Negara harus hadir dengan kepastian hukum yang adil, sebagaimana digariskan MK. Mengabaikannya hanya akan memperdalam luka sejarah sekaligus mengikis kepercayaan rakyat terhadap negara. (Redaksi)

