Warga Bantargebang Tolak Perpanjangan PKS TPST, Ungkap Dugaan Penyimpangan Dana Kompensasi dan Pelanggaran HAM
KOTA BEKASI EditorPublik.com — Masyarakat Bantargebang dengan tegas menolak rencana perpanjangan Perjanjian Kerja Sama (PKS) pengelolaan sampah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang antara Pemerintah Kota Bekasi dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Penolakan ini disuarakan dalam Simposium Sampah Bantargebang yang diselenggarakan di Mustikajaya pada Selasa (28/10/2025). Acara tersebut diinisiasi oleh Forum Jurnalis Penggiat Lingkungan, Prabu-PL, Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan, Si Paling Lingkungan, serta sejumlah komunitas pemerhati lingkungan.
Warga menilai PKS yang sudah berjalan selama ini tidak memenuhi asas keadilan dan sarat cacat hukum, yang berakibat kerugian besar bagi masyarakat Bantargebang dari sisi lingkungan, kesehatan, pendidikan, sosial, hingga hak asasi manusia.
Tokoh masyarakat Bantargebang, Wandi, menekankan bahwa warga telah menanggung beban pencemaran selama puluhan tahun akibat aktivitas TPST yang dikelola tanpa melibatkan mereka.
“Kami menolak perpanjangan PKS sebelum seluruh permasalahan yang kami alami selama 37 tahun diperbaiki. Masyarakat Bantargebang harus dilibatkan dalam penyusunan tata kelola baru,” tegas Wandi, seperti dirilis kicaunews.com.
Dari aspek tata kelola keuangan, Indonesian Audit Watch (IAW) mengungkapkan adanya dugaan penyimpangan dana kompensasi selama periode 2021–2023 yang berpotensi menimbulkan kerugian negara sebesar Rp123,52 miliar.
“Ini bukan tuduhan, tapi hasil audit forensik atas dokumen resmi dan data realisasi anggaran. Dana kompensasi seharusnya digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup warga sekitar, bukan justru menimbulkan aroma penyimpangan yang lebih tajam dari bau sampah itu sendiri,” ungkap Iskandar Sitorus dari IAW.
Iskandar juga menyoroti kelemahan pengawasan atas implementasi PKS, meski regulasi seperti UU 23/2014, PP 28/2018, dan UU Tipikor sudah jelas mengaturnya.
Peneliti sekaligus Senior Investigator Komnas HAM, Wahyu Pratama Tamba, menilai situasi di Bantargebang telah menyentuh aspek pelanggaran HAM. Ia merujuk pada Pasal 9 ayat (3) UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menjamin hak setiap orang atas lingkungan yang baik dan sehat.
“Pencemaran lingkungan itu bentuk pelanggaran HAM. Sayangnya, belum ada langkah konkret untuk mendorong penyelesaian persoalan ini,” ujarnya.
Lebih lanjut, Wahyu menganggap pemberian dana kompensasi kepada warga justru menjadi bukti pengakuan negara atas adanya pencemaran lingkungan.
“Dalam peraturan daerah disebutkan kompensasi bagi warga terdampak. Itu artinya negara mengakui bahwa masyarakat memang menjadi korban dampak negatif TPST Bantargebang,” tambahnya.
Simposium ini dihadiri oleh anggota DPRD Kota Bekasi Latu Harhary dan Sarwin Edi Saputra, perwakilan kelurahan, UPTD Kebersihan, Dinas Lingkungan Hidup, serta sejumlah akademisi dan pemerhati lingkungan, termasuk Prof. Muhamad Said dari UIN Syarif Hidayatullah dan Nurina Aini dari Sri Bebassari Center.(Msk)

