Evaluasi Konsesi PT Toba Pulp Lestari: Ujian Moral Negara di Tanah Batak
EDITORIAL PUBLIK
Setelah lebih dari tiga dekade masyarakat adat Tano Batak menanggung luka sosial akibat konflik agraria dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL), pemerintah akhirnya melakukan evaluasi izin konsesi perusahaan tersebut. Namun, diharapkan evaluasi ini bukan sekadar urusan administratif. Ia adalah ujian moral dan politik, apakah negara berani berpihak pada keadilan sosial dan ekologis, atau kembali tunduk pada kepentingan korporasi besar.
Konflik antara masyarakat adat dan TPL bukan hal baru. Sejak era PT Inti Indorayon Utama pada awal 1990-an, perusahaan ini telah dituduh merampas tanah ulayat, merusak hutan kemenyan, dan mencemari lingkungan Danau Toba. Ratusan laporan, aksi protes, dan kriminalisasi warga menjadi catatan kelam yang belum pernah benar-benar diselesaikan oleh negara.
Evaluasi yang kini akan dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memang patut diapresiasi. Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari, Laksmi Wijayanti, menegaskan bahwa langkah rasionalisasi izin TPL dilakukan karena fragmentasi areal yang tinggi dan tumpang tindih fungsi lahan. Namun publik menuntut lebih dari sekadar evaluasi teknis. Yang dibutuhkan adalah keberanian politik untuk menegakkan keadilan dan menutup PT TPL secara parmanen.
Hasil temuan KLHK menunjukkan sebagian areal TPL telah berubah menjadi Area Penggunaan Lain (APL) dan bahkan terbit sertifikat hak atas tanah di atasnya. Fakta ini mengindikasikan lemahnya pengawasan dan kesalahan kebijakan masa lalu yang membiarkan korporasi beroperasi di wilayah yang seharusnya dilindungi. Bila negara serius, seharusnya area yang telah beralih fungsi segera dikeluarkan dari konsesi dan dikembalikan kepada masyarakat adat.
Rasionalisasi izin tidak boleh berhenti pada perbaikan peta atau laporan administratif. Pemerintah harus memastikan pemulihan hak-hak masyarakat yang kehilangan tanah, hutan, dan sumber penghidupan mereka. Negara tidak bisa terus bersembunyi di balik alasan “investasi” ketika warga adat harus menghadapi kriminalisasi karena mempertahankan tanah leluhur.
Sejumlah laporan Komnas HAM dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) telah menegaskan adanya pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Kekerasan, intimidasi, dan ketidakadilan hukum terus berulang tanpa penyelesaian. Negara punya kewajiban konstitusional untuk melindungi rakyat, bukan perusahaan.
Ephorus HKBP, Pdt Dr Victor Tinambunan, menyebut bahwa Presiden Prabowo Subianto telah menyetujui peninjauan ulang izin TPL. Pernyataan ini menjadi harapan bahwa pemerintah pusat benar-benar akan hadir sebagai pelindung keadilan, bukan sekadar penonton dari konflik yang terus berulang.
Kini saatnya negara menegaskan keberpihakan. Evaluasi konsesi TPL harus menjadi tonggak pemulihan ekologi Danau Toba dan penegakan keadilan bagi masyarakat adat Tano Batak. Bila langkah ini gagal, sejarah akan mencatat bahwa negara kembali abai terhadap penderitaan rakyatnya sendiri.
Negara tidak boleh lagi menutup mata. Keadilan sosial bukan slogan dalam pembukaan UUD 1945, melainkan janji yang harus ditepati, termasuk bagi mereka yang selama ini paling mudah dikorbankan: masyarakat adat di Tanah Batak.

